Profesionalisme yang Bertumpu Pada Donatur

Diposkan oleh Unknown on 10 January 2015

Profesionalisme yang selalu dibanggakan PSSI terkait pengelolaan klub-klub ISL nyatanya hanya sebatas pada kata-kata. Profesional hanya sebatas badan hukum. Pengelolaan finansial yang baik secara perusahaan, entah itu upaya memaksimalkan pendapatan atau meminimalisir kerugian masih dilakukan dengan cara-cara tradisional.

Salah satu hal kentara yang bisa terlihat adalah sumber pendapatan dana yang didominasi oleh para donatur. Sistem ini mirip-mirip seperti apa yang lazim dilakukan klub-klub Galatama di dekade 70-80an. Ibarat dua sisi mata uang, akan ada dua kemungkinan yang bisa dicapai, tetap eksis atau bubar. Namun opsi kedualah yang banyak terbukti di Indonesia. Bukti kegagalan sistem pendanaan secara donatur ini bisa terlihat dari dua klub semenjana yang kini sedang berjuang mati-matian agar bisa tetap eksis di ISL, Persiwa Wamena dan Persik Kediri.

Manajer Persiwa, Agus Susanto mengakui bahwa mayoritas anggaran Persiwa didapat dari sumbangan Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Papua. "Hampir 70-80% biaya operasional kami selama satu musim didapat dari sumbangan bupati-bupati di Pegunungan Tengah," ungkapnya.

Dari data yang didapat Jawa Pos, jumlah kabupaten di sekitaran pegunungan tengah mencapai 10 kabupaten. Tercatat biaya operasional Persiwa saat mengikuti Divisi Utama musim lalu mencapai 13 Milyar. Estimasinya berarti di musim lalu, setiap bupati menyumbang 1,3 Milyar untuk Persiwa. - Catering Malang -

Meski begitu, Agus membantah dugaan itu. Menurutnya sumbangan itu tak bersifat memaksa, maka dari itu tiap bupati memberikan sumbangan dengan nilai yang berbeda-beda. "Tentu saja bantuan terbesar dari bupati Jayawijaya, selaku pemilik Persiwa secara wilayah," ungkapnya.

Dengan dana yang didapat dari sumbangan para bupati maka tak menutup kemungkinan kebocoran penggunaan APBD untuk sepakbola. Meski begitu, Agus tak begitu peduli dengan asal-usul itu, dia tetap yakin bahwa sumbangan dana yang didapat dari donatur murni dari kocek pribadi bupati-bupati itu sendiri.

Ketidakjelasan dana ini juga dialami oleh Persik Kediri. Secara blak-blakan, Wakil Manajer, Rudi Hermanto mengutarakan bahwa pendapatan bersih Persik di ISL musim lalu berkisar 10 Milyar. Angka ini tentu saja jauh dari target manajemen yang berharap mendapatkan 13 Milyar. Dengan keminusan ini wajar saja jika Persik memiliki masalah tunggakan gaji kepada seluruh pemain pada musim lalu hingga empat bulan lamanya

Tapi jangan sangka angka pendapatan 10 Milyar yang didapatkan Persik bukanlah berkat kelihaian manajemen memanfaatkan potensi bisnis. Rudi mengakui bahwa 80% pemasukan itu didapat dari donatur yang konon katanya adalah para pengusaha kaya yang gila bola dan bermukim di Kediri. Salah seorang orang dalam Persik membocorkan bahwa salah satu donatur terbesar Persik adalah Iwan Budianto, Manajer Arema Cronus. Dan patut dicatat sumbangan ini sukarela, tanpa pamrih mendapat untung lebih.

Diluar pemasukan dari donatur, sumber pendanaan Persik hanya mengandalkan sektor tiket yang berkeuntungan 1,3 Milyar dan revenue sharing televisi dari PSSI yang berjumlah 2 Milyar. Total pemasukan dari Aboard tak jadi hitungan, karena nominalnya yang teramat kecil hanya mencapai puluhan juta. Dengan begitu berarti ada sekitar 7-8 Milyar uang donatur yang diserap oleh Persik. "Klub-klub kecil di daerah kondisinya memang seperti itu, sulit untuk tak hanya bergantung pada sosok donatur," keluh Rudi.

Terlalu bertumpu mengandalkan kucuran dana donatur memang jadi sebuah dilema tersendiri. Tak adanya kontrak hitam di atas putih membuat kucuran dana bisa berhenti kapanpun, tergantung mood si empu pemilik uang. Hal ini diakui Agus. Tak jarang dia berkeluh kesah kepada media menuntut agar bupati-bupati itu merealisasikan janji membantu Persiwa. "Ya itulah resikonya, agar bisa tetap bertahan kami harus jangan putus asa menagih janji-janji itu," ungkapnya.

(JawaPos)