Suap dan Pengaturan Skor Melanda Sepak Bola ?

Diposkan oleh Unknown on 13 March 2013

Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang akan digelar di Hotel Borobudur pada 17 Maret mendatang diyakini masih belum menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya terjadi di dalam dunia sepak bola Indonesia. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Roy Suryo dituding hanya ingin menyelesaikan konflik dualisme di PSSI, saja seperti penyatuan liga, revisi statuta, dan masalah pengembalian mantan anggota Komite Eksekutif (Exco) terhukum.

"Sebenarnya tiga agenda kongres tersebut bukanlah penyebab utama terjadinya konflik di sepak bola Indonesia yang akan dibahas di KLB nanti. Menpora justru membuka ruang lagi bagi permasalahan yang mendasar selama ini, yakni masalah suap dan judi dalam dunia sepak bola. Dalam hal ini adalah pengaturan skor atau match fixing. Itu yang luput dari perhatian Menpora," ujar aktivis dari Save Our Soccer (SOS), Apung Widadi dalam acara diskusi bersama media di kawasan SCBD, Jakarta, Selasa kemarin.

Dalam penelusurannya, sudah selama dua dekade terakhir masalah match fixing sudah merajalela, bahkan sudah mengakar hingga sekarang di sepak bola nasional. “Match fixing yang sudah merajalela adalah masalahnya. Kalau ini dibiarkan, justru Indonesia akan semakin hancur sepak bolanya," ujarnya.

Kata Apung, praktik match fixing sendiri jika ditarik dari segi sejarah ternyata terbagi dalam tiga periode. Di era Galatama yang dimulai pada tahun 1980-an praktik yang dikenal dengan istilah "Sepak Bola Gajah" tersebut melanda pemain dan wasit yang gajinya masih sangat minim. Lalu di tahun 1990-an, match fixing tercipta lewat jasa dari wasit yang saat itu gajinya lebih rendah dari pemain. Terakhir adala di era 2000-an oknum-oknum pengurus PSSI mulai terlibat di dalam praktik match fixing.

"Liga bisa dibeli, kemenangan suatu klub bisa didapatkan dengan mudah lewat uang. Tujuannya? Pasti untuk mengakomodasi kepentingan politik mereka. Apalagi kalau sudah menjelang pilkada, juara sudah bisa dibeli sebelum kompetisi digelar. Siapa yang akan menjadi juara nantinya sudah ketahuan," kata Apung.

Dikatakan pria yang juga aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) ini, penyelesaian kasus match fixing sudah bisa diberantas sejak PSSI dipimpin oleh Kardono pada tahun 1988. Para pelaku tersebut sukses mendapatkan ganjaran yang sangat berat yaitu tidak boleh bermain seumur hidup di kompetisi Indonesia. Namun langkah dari Kardono tidak diteruskan oleh pengurus PSSI era selanjutnya sampai sekarang.

"Setelah era itu lalu terputus dan tidak ada ketegasan, jadinya mafia sepak bola menjadi merajalela. Inilah musuh besar sepak bola nasional saat ini. Konflik bisa terjadi karena praktik mafia. Jadi harus diberantas praktik mafia tersebut. Kalau tiga agenda itu saja yang dibahas di KLB, pastinya tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu dimunculkan figur baru yang memang benar-benar tegas dalam mengelola sepak bola nasional," ujar Apung.

Oleh karena itu, Apung menilai bahwa KLB nanti hanya akan menjadi sebatas formalitas belaka dan pembukaan ruang bagi para mafia sepak bola yang memiliki kepentingan di dalamnya. Dirinya mengatakan, sejatinya masalah utamanya adalah bagaimana para pemangku sepak bola menghentikan pergerakan dari mafia sepak bola di Indonesia.

"Tapi kenyataaanya KLB nanti hanya akan membuka ruang bagi para mafia untuk kembali bermain. Ini telah membuka ruang terlalu lebar untuk mafia-mafia tersebut kembali bermain," jelasnya.
TENUN IKATKAOS KEDIRIBATIKJersey Bola