Salary Cap, Sebuah Penghinaan Pemain Lokal Indonesia

Diposkan oleh Unknown on 10 August 2011

CATATAN SEPAK BOLA KUKUH SETYAWAN WARTAWAN HATTRICK (Sindo)

LIGA INDONESIA,-  Semakin tinggi kualitas barang, semakin mahal harga barang tersebut. Logika ini yang dibangun pasar. Apalagi jika barang itu dianggap langka, tentu tak ada yang mampu membatasi harga. Hukum sederhana itu juga berlaku di sepak bola.

Ketika Manchester City meminang Sergio ‘Kun’ Aguero dan memberikan gaji 200.000 pounds atau setara Rp 2,7 miliar per pekan, harga itulah yang memang dianggap pantas untuk Kun. Tak ada yang bisa menahan The Citizens mengobral uangnya.

Transfer Kun dan kebanyakan pemain bintang lainnya bisa dijadikan gambaran sepak bola Indonesia. Semakin moncer performa pemain, apalagi tercatat di skuad tim nasional (timnas), secara otomatis harga si pemain juga terangkat. Pemain berhak mendapat harga yang pantas untuk keringat kerja keras yang diteteskannya.

Bermain di timnas, klub besar (kaya) dan gaji tinggi adalah tiga impian yang saling mengikat. Sayang hal ini tidak dipahami benar oleh PSSI. Pemberlakuan salary cap atau pembatasan gaji pemain lokal yang hanya Rp 500 juta per musim adalah sebuah “penghinaan” atas kerja keras pemain.

Semangat meningkatkan kualitas dan prestasi sepak bola sudah ternoda. Harusnya dipahami, besaran gaji adalah rangsangan paling efektif bagi seorang pegawai (baca: pemain). Peningkatan pendapatan adalah pembakar motivasi paling jenius di luar decak kagum dan pujian.

Blundernya, salary cap oleh PSSI hanya diberlakukan untuk pemain lokal dan pukul rata tanpa peduli pemain timnas atau bukan. Betapa getirnya batin Irfan Bachdim jika kontraknya yang semusim seharga Rp 1,5 miliar harus dicukur menjadi Rp 500 juta. Bukankah biaya menghidupi seorang model (Jennifer Bachdim) sangat mahal ?

Alangkah pilunya Achmad Bustomi yang nilai kontraknya hampir Rp 1 miliar kembali “mungsret” ke angka yang lebih cekak. Padahal dia merangkak penuh peluh dari tim sekelas Persikoba Batu, Persema Malang, kemudian Arema Indonesia FC dan akhirnya tembus timnas.

Betapa kejamnya sepak bola Indonesia “profesional”itu. Juga pemain-pemain muda di timnas U-23 atau di bawahnya yang bermimpi menjadi kaya raya dengan bermain sepak bola. Maaf, bapak-bapak di PSSI, mohon Anda ketahui, di negeri yang miskin ini bermain sepak bola adalah salah satu jalan terbaik memperbaiki nasib.

Halal dan tanpa korupsi. Zulham Zamrun, pemain Pro Titan yang melejit bersama Persela Lamongan dan masuk timnas U- 23, juga ingin menjadi pemain terkenal dan hidup mapan. Sudah seharusnya PSSI memberi bahan bakar motivasi kepada pemain semacam dia, bukan malah memberikan pembatasan gaji.

Tim profesional harus membatasi pengeluaran dan berusaha mandiri. Ya, saya sudah dengar itu beribu kali dari ribuan mulut pula. Bukankah seharusnya PSSI juga memberikan solusi dan pedoman bagaimana seharusnya menjadi tim profesional dan mandiri ? Kalau hanya memberlakukan salary cap atau participation deposit, kepengurusan PSSI yang baru tak memberi input apa-apa sebagai tuntutan klub.

Ke mana semangat Liga Primer Indonesia (LPI) yang memberikan subsidi kepada klub agar mandiri dalam waktu lima tahun ? Bukankah yang di PSSI sekarang orang-orang LPI ? Balik lagi ke salary cap. Saya lebih setuju jika salary cap diberlakukan untuk pemain asing.

Selama ini Liga Indonesia terlalu menjadikan pemain impor sebagai berhala. Padahal saya tak yakin keberadaan mereka berguna untuk bakat-bakat domestik atau kompetisi secara umum. Saya angkat topi kepada sosok Jacksen F Tiago. Bermain di Indonesia, melatih dan memberi gelar untuk Persebaya Surabaya dan Persipura Jayapura, sekaligus mengangkat bakat-bakat muda dari Papua.

Itulah sosok asing yang pantas mendapat gaji setinggi langit. Lainnya ? Baru sebatas penghibur. Mereka hanya memberi keasyikan kepada penonton, tapi belum menjalankan fungsi tutorial atau minimal contoh kepada pemain lokal. Lebih parah lagi banyak legiun impor yang justru menjadi pengacau dengan kualitas ala kadarnya.

Saya sepakat dengan Media Officer Arema Indonesia, Sudarmaji yang khawatir adanya upaya mengakali kontrak (bawah tangan). Di sini menariknya. Bisa kita lihat bersama apakah PSSI bisa mengawasi ini atau hanya tutup kuping dan mata ?